Rabu, 20 Agustus 2008

sebagian dari pioneer

Dr. Ir. Yushinta Fujaya, M.Si. (Ketua)
phonecell: 08152521799



Dr. Ir. Muh. Yusri Karim, M.Si.
phonecell: 081355858439



Anang Syani
phonecell: 081944242835







Muslimin
phonecell: 081342689257


Mutmainna (Bendahara)

phonecell: 08124185007




M. Issac Maulana
phonecell: 085255690906



Suprapto

phonecell: 08164387168


Akbar Marzuki Tahya, S.Pi. (sekertaris ASPEKRINDO)
phonecell: 081241008420






























email: amtahya@gmail.com

Sabtu, 16 Agustus 2008

kami ASPEKRINDO yang bersemangat


terlihat semangat di wajah para pioneer ASPEKRINDO (asosiasi pemerhati kepiting dan rajungan indonesia)


Nur Alam S.Pi., biasa disapa anchu oleh rekan-rekan angkatan 01 perikanan unhas. Beliau sangat antusias tuk menjadi pengusaha kepiting dan rajungan lho.., semangat kanda.


lihat tuh Akbar sang sarjana rajungan menguji nyalinya untuk menangkap si cantik rajungan..! semoga berhasil yah ta doain...


nah ini dia Dr. Yushinta Fujaya, yang sangat inovatif untuk mengembangkan teknologi kepiting molting nonmutilasi
kegiatan pengupasan rajungan (miniplant) di pulau salemo








Jumat, 15 Agustus 2008

kepiting & yushinta dalam smartorial




Inilah pesan berharga dari Universitas Hasanuddin Makassar yang Indonesia butuh mendengarnya. Semula hanya tentang seorang dosen, Dr Ir Yushinta Fujaya Msi, namanya, yang meneliti kepiting. Menyangkut hewan ini, telah jamak dikenal, bahwa teknologi untuk melunakkan cangkangnya, adalah dengan cara mutilasi: yakni memreteli kaki-kakinya. Sungguh, cara ini setara dengan penggemukan ayam pedaging dengan cara memotongi kakinya. Ayam-ayam itu dibiarkan makan sepanjang waktu, tetapi tidak diperkenankan bergerak. Biarlah ia menggembung sambil teraniaya demi keuntungan pemiliknya. Cara ini juga serupa dengan sapi-sapi yang hendak disembelih, dengan lebih dulu menggelonggong air hingga kembung perutnya. Itulah asal mula Indonesia harus mengenal sapi gelonggongan, dengan daging yang tak pernah bisa digoreng, karena air yang melimpah di dalamnya.


Kekejaman bangsa ini kepada hewan-hewan, memang harus diakhiri. Hewan yang kita konsumsi sambil dizalimi begini, pasti cuma akan mendatangkan kemudharatan bagi tubuh. Ia akan menimbulkan karma bagi tubuh dan jiwa. Dan kekejaman kepada hewan-hewan itulah juga yang akhirnya tercermin pada kekejaman kita kepada alam, manusia dan negara. Kekejaman kepada negara itu, malah sudah kita rasakan bersama akibatnya. Inilah negara pemilik kesuburan tetapi gagal mendatangkan kemakmuran.


Yushinta adalah dosen peneliti, bahwa untuk melunakkan cangkang kepiting, cukup hanya dengan menyuntikkan ekstrak bayam ke tubuh mereka. Kaki hewan-hewan ini tak peru lagi dipreteli lagi. Yushinta tidak cuma tergerak menyayangi kepiting dan menjaga martabatnya, tetapi juga membayangkan visi perdagangan jangka panjang, dengan dunia sebagai pasarnya. Bahwa terhadap hewan sekalipun, pasar dunia itu menjunjung adab yang tinggi kepada hewan. Sebelum disembelih, sapi-sapi di Jerman perlu dibius dan dininabobokkan dengan ketentraman. Sebagai ganjarannya, manusia mereka beri daging yang bagus mutunya, yang dihasilkan tidak dengan langkah aniaya. Ini jelas bukan sapi yang selama sehari-semalam diikat dalam bak-bak truk terbuka, tanpa bisa duduk untuk sejenak beristirahat, sambil menempuh perjalanan panjang. Hewan-hewan itu kita anggap diam, pasti karena mereka cuma tak sanggup berbicara. Hewan teraniaya itulah yang kita makan, dan pasti akan menjadi persoalan bagi tubuh.


Kini, Yushinta sedang mengajukan temuannya itu untuk secepatnya dikabulkan sebagai temuan anak bangsa yang diliundungi hukum berupa Hak atas kekayaan Intelektual. Negara harus secepatnya memproses permohonan ini untuk melindungi kecerdasan bangsa sendiri. Percuma saja memiliki rakyat cerdas, jika negara terlambat merawatnya. Rakyat yang sehat, harus disambut dengan mata rantai berbangsa yang juga sehat. Jika tidak, banyak pertumbuhan yang akan berujung mati!


Yushinta, Sang Penakluk Kepiting


KOMPAS Kamis, 7 Agustus 2008 06:24 WIB
Nyaris sepuluh jari tangannya pernah terluka dan berlumuran darah karena tercapit kepiting. Namun, dia tidak pernah kapok meneliti hewan yang bercangkang keras itu.Itulah Dr Ir Yushinta Fujaya MSi, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, yang tengah memperjuangkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terhadap sebuah karya penelitian tentang budidaya kepiting cangkang lunak.Kelembutan dan ketekunan perempuan kelahiran Makassar, 23 Januari 1965, ini membuahkan cara lebih elegan untuk menaklukkan kepiting.Dengan menyuntikkan ekstrak bayam pada tubuh kepiting, Yushinta membuktikan bahwa upaya melunakkan cangkang kepiting tak selamanya harus menempuh cara mutilasi. Bahkan, berkat metodenya ini, periode pelunakan kulit kepiting bisa dipersingkat dari biasanya 30-35 hari menjadi 16-20 hari.Selama ini, untuk melunakkan cangkang kepiting, nelayan biasanya menggunakan cara mencopot kaki-kakinya. Teknik mutilasi hewan berhabitat air payau tersebut membuat kepiting melakukan molting, pelunakan cangkang.Bagi kepiting, itu merupakan proses regeneratif dengan merangsang fisiologi hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak. Naluri body building seperti ini juga ada pada cecak. Cecak tidak perlu risau jika ekornya buntung karena terjepit pintu. Dalam periode tertentu, secara alami akan tumbuh kembali buntut baru.”Sekilas, memang tidak ada masalah. Tapi, ditinjau dari sisi lingkungan dan pemasaran kepiting di mancanegara, cara ’penganiayaan’ seperti itu sudah kuno. Jika dipertahankan, kepiting asal Indonesia bakal ditolak di pasaran ekspor,” urainya.Padahal, kepiting merupakan salah satu primadona ekspor hasil laut dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan juga sejumlah provinsi di Kawasan Timur Indonesia, di samping udang, ikan tuna, dan rumput laut.Yushinta yang sudah menjurnalkan 22 publikasi ilmiah menegaskan, istilah mutilasi tak hanya seram dan mengerikan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, mutilasi juga menekan kelangsungan kehidupan hewan dan berisiko mengurangi nilai ekonomis dan kemaslahatannya bagi masyarakat.Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini mencermati, kian tumbuhnya kesadaran akan nilai-nilai perikemanusiaan di berbagai belahan dunia semakin menebalkan pula kesadaran akan ”perikehewanan”.”Makin banyak negara yang menjunjung tinggi penegakan HAM, dan pada saat bersamaan tumbuh pula kesadaran masyarakat untuk melindungi hak hidup binatang, animal welfare,” ujarnya seraya menyebut sederet negara maju yang merupakan pasar ekspor potensial bagi kepiting Indonesia.Kepiting yang lazim dibudidayakan di sela-sela pepohonan bakau merupakan komoditas serbaguna. Mulai dari daging hingga kulit atau cangkangnya bernilai ekonomis. Tak hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga menjadi bahan obat-obatan.Daging kepiting rendah lemak, tinggi protein, serta sumber mineral dan vitamin. Meski mengandung kolesterol, daging hewan ini rendah kandungan lemak jenuh. Selain juga merupakan sumber niacin, folate, dan potasium, vitamin B12, phosporous, zinc, copper, dan selenium. Selenium berperan mencegah kanker dan perusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.Kepiting juga mengandung nutrisi bernilai tinggi terutama chitosan dan karatenoid yang banyak terdapat pada kulitnya. Chitosan dan karatenoid berfungsi menyerap lemak dan kolesterol, selain racun-racun lain.Kulit kepiting yang telah diolah oleh industri bisa menjadi bahan baku obat dan kosmetik. Hal inilah yang membuat kepiting menjadi buruan negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa.Terinspirasi ”Popeye”Penelitian soal kepiting lunak ini hanyalah satu dari 18 judul penelitian yang telah dirampungkan Yushinta sejak menjadi dosen Unhas tahun 1989.Dari mana ibu dua anak ini memperoleh semua ide itu? Rupanya penelitian ini terinspirasi sosok Popeye, tokoh pelaut dalam sebuah film kartun. Sebelum bertarung menaklukkan lawan-lawannya, Popeye terlebih dulu selalu melahap bayam sebanyak-banyaknya. Alhasil, tubuh Popeye jadi kekar, bugar, dan sangat tangguh bagi lawan-lawannya.”Dari (film kartun) Popeye, saya penasaran untuk meneliti zat yang terkandung pada bayam,” tutur Yushinta.Rupanya, bayam, pakis, dan tumbuhan paku-pakuan mengandung ekdisteroid, sejenis hormon molting yang mempercepat kepiting dan sejenisnya untuk mengelupas kulit lama dan meremajakannya kembali.Bersama tim dari Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau Kabupaten Maros, Sulsel, sekitar satu tahun lalu, mulailah Yushinta melakoni langkah-langkah penelitian. Bermula dari pengukuran kadar ekdisteroid dalam tiap individu kepiting. Secara alami, untuk molting kepiting butuh ekdisteroid 500 nanogram per gram berat badannya.Di lokasi penelitian Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, ekstrak bayam disuntikkan pada pangkal kaki kepiting sebanyak sepersepuluh mililiter untuk tiap kepiting. Pangkal kaki kepiting mempunyai bagian yang lunak serta memiliki pembuluh darah sehingga memudahkan kerja hormonal untuk molting. Hasilnya, cangkang yang semula keras pelan-pelan melunak.”Penelitian ini memerlukan tindak lanjut lebih konkret bagi industri,” ungkap Yushinta.Tantangan yang paling berat adalah bagaimana memurnikan ekstrak bayam dengan biaya yang terjangkau. Biaya pemurnian bisa mencapai Rp 3 juta per 5 miligram. Oleh Yushinta dan timnya, temuan terhadap ekstrak bayam itu diberi nama ”Vitomolt”.Melalui Sentra HaKI Unhas, Yushinta telah bermohon kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk hak patennya.”Agar tidak dicuri dan didahului negara lain, pemerintah harus cepat-cepat memproses dan mengabulkannya,” pinta Yushinta.Jika pemerintah kurang tanggap dan lamban, bukan tidak mungkin karya anak bangsa dari Makassar ini benar-benar dicaplok oleh negara lain. Nasrullah Nara