Senin, 05 Januari 2009

festival kuliner kepiting dan temu bisnis



Dalam rangka memperkenalkan komoditi kepiting sebagai salah satu alternatif peningkatan ekonomi kerakyatan nasional maupun lokal sulawesi, maka kegiatan festifal dan temu bisnis ini diadakan.

Oleh karena itu pelibatan segenap elemen pemerhati, petani, pengusaha, instansi swasta maupun negeri, dan kalangan masyarakat umum sangat diharapkan demi kesuksesan kegiatan ini.

Media online milik ASPEKRINDO ini juga sebagai undangan terbuka bagi publik.

for further information please call:
Mutmainnah Mangkona, SE.
HP: 08124185007
or
Dr. Yushinta Fujaya Muskar, M.Si.
HP: 08152521799

sekretariat; Jl. Danau Toba No.1, Taman Toraja
GMTD-Makassar

Catatan Akhir Tahun


Welcoming 2009
Sewaktu Aku terbangun di pagi hari, Aku melihat sesuatu yang berbeda dari hari kemarin. Anak-anak dan orang dewasa yang lalu lalang depan rumah mungkin saja orang yang sama, namun tiap waktu mereka berbeda. Secara detail Aku melihat perbedaan dari waktu mereka melintas tiap harinya jarang ada yang tepat seperti waktu kemarinnya, begitupula kemungkinan terjadinya orang yang melintas dengan orang yang sama pada hari sebelumnya, pun pakaian yang mereka gunakan. Anak kecil pengangkut sampah meneriaki Ku ke dalam rumah untuk mengambil sampah dan mengharap upah keringat seribu rupiah, tukang becak dan penjual sayur, mereka pun berbeda.
Hidup ini memang penuh dinamika, muda tua dan dulu sekarang adalah bagian dari dinamika itu. Kemarin kita baru saja hidup di tahun 2008, tapi hari ini kita terbangun pada tahun yang barui, tahun 2009. Ada banyak agenda hidup yang telah kita lalui, ada yang dihiasi dengan kesuksesan dan adapula kegagalan. Itulah konsekuensi hidup yang patut kita terima.
Di belahan dunia yang lain orang-orang bersorak gembira mengubur tahun 2008 dan menggantinya dengan kalender yang baru yakni tahun 2009. Tak terhitung berapa banyak uang yang dihabiskan untuk menyambut tahun baru, mem-booking kamar hotel, rekreasi, melakukan aktivitas yang ekstrim, membeli petasan dan kembang api. Namun tidak dengan benua yang berbeda, Negara dan bahkan orang yang berbeda sekalipun masing-masing punya cara untuk menikmati pergantian tahun tersebut. Akhir tahun memang berganti dan itu konsekuensi hidup yang diukur dengan waktu. Kezaliman itu tetap dirasakan oleh yang lainnya, kekejaman, penjajahan, pemerkosaan, perampasan hak, dan kesewenangan lainnya tetap menjadi agenda yang berulang dalam mengawal tahun 2009 ini.
Pernahkah kita membanyangkan, ketika kita sedang menyalakan petasan dan kembang api pada malam penyambutan tahun baru ini. Di tempat yang lain di planet yang biru nan cantik ini, meletus pula petasan dan hiasan kembang api yang maha dahsyat dan bisa merenggut (baca; bom, senjata api, dll). Bernapaspun terasa sukar bagi mereka di tempat itu. Banyak alasan bagi mereka untuk menorehkan tinta merah yang kotor pada lembaran tahun baru ini, demi idealisme yang egois dan pertahanan teritorial yang seolah-olah mereka seperti raja rimba.
Saudara-saudara Ku, baik yang menikmati kegemerlapan tahun baru 2009 dengan petasan dan kembang api, maupun yang merasa ngeri melihatnya. Mari kita sejenak merenungi diri mengenai apa yang telah kita lewatkan di tahun 2008, apakah kita telah berbuat baik kepada sesama kita?, tidak merampas hak orang lain, telahkah kita menjadi pemimpin yang bijak atau malah penuh kemunafikan?, apakah kita telah menjadi peneliti atau akademisi yang layak dan ikhlas?, dan yang terpenting apakah kita telah berbuat kebajikan sedikit kepada kedua Orang Tua kita selama tahun-tahun yang telah lalu hingga sekarang ini?, dan apa yang telah kita dermakan untuk bumi ini?. Kita telah banyak menuntut kepada semuanya tetapi kita sengaja tidak sadar untuk memberi hak mereka.
Saudara Ku, dinamika ini memang terjadi. Dan entah sampai kapan perdamaian sesama manusia, bumi dan alam semesta yang cantik ini akan tercipta. Resolusi untuk perdamaian telah banyak ditempuh, seminar tentang lingkungan sudah banyak menyita waktu juga biaya. Pun peperangan masih mengotori bumi dan langit, juga kerusakan lingkungan masih banyak menjadi favorit di kalangan masyarakat kita.
Dinamika memang terjadi. Tetapi akankah kita mengisi dinamika itu dengan kerusakan?, kerusakan akibat gempuran roket-roket pesawat perang, kerusakan akibat penangkapan ikan dan organisme yang tidak ramah lingkungan, kerusakan akibat penebangan kayu di hutan, kerusakan akibat moral pejabat yang korup, kerusakan moral akibat penyalahgunaan teknologi dan masih berlanjut oleh deret kerusakan lainnya.
Mari kita bangun dari lamunan dan mimpi tidur yang panjang. Jangan pernah mau terantuk pada batu yang sama, mari mengawali tahun ini dengan banyak berderma untuk perdamaian dan bumi yang tersenyum.


Untuk Bumi Ku yang tersenyum,

Akbar Marzuki Tahya, S.Pi.

Alam mulai enggan bersahabat dengan kita??

Aku duduk di teras rumah sore itu, titik-titik air jatuh melewati atap seng yang bergelombang. Panas terik matahari siang tadi rupanya menginginkan gerimis. Suhu dinginpun terasa menghapus bumi seketika. Aku menatap hamparan empang yang ada di depan rumah, rumah kayu panggung yang sederhana dan berjasa sebagai tempat peristirahatan para peneliti maupun pekerja empang yang lelah seusai bergelut dengan tanah, air dan ikannya. Tanah pematang yang seolah-olah angkuh menahan air yang ada di dalam empang memberikan harapan besar untuk kehidupan ikan. Air yang begitu tenang seolah-olah bersahabat, namun menyimpan misteri yang begitu besar bagi kami peneliti. Kembali aku menolehkan haluan wajahku sedikit ke kanan, tepatnya pada petakan empang yang lain. Di sana terlihat instalasi bambu yang berwarna kuning akibat terpaan matahari dan termakan waktu, cukup sederhana. Beberapa keranjang kotak pemeliharaan kepiting yang setengah terendam ke dalam air. Airnya pun terlihat tenang dan sama dengan empang depan rumah.
Seketika lamunan Ku buyar, “oh…Akbar bagaimana kepitingmu moltingmikah?, Dg. Somma menyapa dan membuktikan hadirnya. “ seperti biasa Dg. Somma, tenapi nallomo. Adaji mati.” Aku menjawab dengan sedikit berbahasa Makassar dialek Maros. Dg. Somma membersihkan kakinya dengan air kemudian melangkah naik melewati anak tangga kayu. Aku tersenyum kepadanya sebagai bentuk keramahan Ku dan membiarkannya berlalu ke dalam rumah. Terdengar suara lantai papan yang direbahi oleh tubuh Dg. Somma, ternyata Ia mencoba melepas lelah.
Di sore itu, Aku mulai bertanya pada alam ini. Pikiran Ku seakan Ku kerahkan untuk menjawab segudang gundah padanya. Mengapa ala mini seakan sulit diprediksi?, Apakah manusia telah salah dalam kecanggihan teknologi?. Hamparan air yang diam ternyata menyimpan sakit bagi kepiting yang akan diteliti, Air di tempat yang lain menjadi berita yang menyedihkan bagi manusia. Tsunami dan banjir pun dating mendera, angin puting beliung meluluhlantakkan bangunan. Dan baru saja terdengar di kampus merah (baca; unhas) mengenai global warming dan global warning menjadi isu terhangat di kalangan mahasiswa atau akademisi, pun masyarakat dunia.
Kita seakan berjalan mencari perdamaian dengan alam, namun alam kini mencari jalan lain untuk ia tempuh. Apakah kita yang salah jalan atau masih masih adakah di antara kita yang berjalan di stapak berbeda dan beranggapan salah mengenai ecofriendly?. Ini menjadi bahan muhasabah bagi umat manusia.
Aku bangkit dari duduk dan lamunan sore Ku, berjalan ke dalam rumah. Ku dapati Dg. Somma masih tertidur. Ku nyalakan lampu minyak tanah untuk menerangi petang. Ternyata alam begitu tenang, matahari yang mulai pergi masih menampakkan ke elokannya diiringi oleh nyanyian jangkrik dan kerabatnya. Suara adzan maghrib pun berkumandang memecah keheningan petang ini.


Mari kita berdamai dengan alam ini.


Akbar Marzuki Tahya, S.Pi.

Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan Akhir Tahun


Welcoming 2009

Sewaktu Aku terbangun di pagi hari, Aku melihat sesuatu yang berbeda dari hari kemarin. Anak-anak dan orang dewasa yang lalu lalang depan rumah mungkin saja orang yang sama, namun tiap waktu mereka berbeda. Secara detail Aku melihat perbedaan dari waktu mereka melintas tiap harinya jarang ada yang tepat seperti waktu kemarinnya, begitupula kemungkinan terjadinya orang yang melintas dengan orang yang sama pada hari sebelumnya, pun pakaian yang mereka gunakan. Anak kecil pengangkut sampah meneriaki Ku ke dalam rumah untuk mengambil sampah dan mengharap upah keringat seribu rupiah, tukang becak dan penjual sayur, mereka pun berbeda.

Hidup ini memang penuh dinamika, muda tua dan dulu sekarang adalah bagian dari dinamika itu. Kemarin kita baru saja hidup di tahun 2008, tapi hari ini kita terbangun pada tahun yang barui, tahun 2009. Ada banyak agenda hidup yang telah kita lalui, ada yang dihiasi dengan kesuksesan dan adapula kegagalan. Itulah konsekuensi hidup yang patut kita terima.

Di belahan dunia yang lain orang-orang bersorak gembira mengubur tahun 2008 dan menggantinya dengan kalender yang baru yakni tahun 2009. Tak terhitung berapa banyak uang yang dihabiskan untuk menyambut tahun baru, mem-booking kamar hotel, rekreasi, melakukan aktivitas yang ekstrim, membeli petasan dan kembang api. Namun tidak dengan benua yang berbeda, Negara dan bahkan orang yang berbeda sekalipun masing-masing punya cara untuk menikmati pergantian tahun tersebut. Akhir tahun memang berganti dan itu konsekuensi hidup yang diukur dengan waktu. Kezaliman itu tetap dirasakan oleh yang lainnya, kekejaman, penjajahan, pemerkosaan, perampasan hak, dan kesewenangan lainnya tetap menjadi agenda yang berulang dalam mengawal tahun 2009 ini.

Pernahkah kita membanyangkan, ketika kita sedang menyalakan petasan dan kembang api pada malam penyambutan tahun baru ini. Di tempat yang lain di planet yang biru nan cantik ini, meletus pula petasan dan hiasan kembang api yang maha dahsyat dan bisa merenggut (baca; bom, senjata api, dll). Bernapaspun terasa sukar bagi mereka di tempat itu. Banyak alasan bagi mereka untuk menorehkan tinta merah yang kotor pada lembaran tahun baru ini, demi idealisme yang egois dan pertahanan teritorial yang seolah-olah mereka seperti raja rimba.

Saudara-saudara Ku, baik yang menikmati kegemerlapan tahun baru 2009 dengan petasan dan kembang api, maupun yang merasa ngeri melihatnya. Mari kita sejenak merenungi diri mengenai apa yang telah kita lewatkan di tahun 2008, apakah kita telah berbuat baik kepada sesama kita?, tidak merampas hak orang lain, telahkah kita menjadi pemimpin yang bijak atau malah penuh kemunafikan?, apakah kita telah menjadi peneliti atau akademisi yang layak dan ikhlas?, dan yang terpenting apakah kita telah berbuat kebajikan sedikit kepada kedua Orang Tua kita selama tahun-tahun yang telah lalu hingga sekarang ini?, dan apa yang telah kita dermakan untuk bumi ini?. Kita telah banyak menuntut kepada semuanya tetapi kita sengaja tidak sadar untuk memberi hak mereka.

Saudara Ku, dinamika ini memang terjadi. Dan entah sampai kapan perdamaian sesama manusia, bumi dan alam semesta yang cantik ini akan tercipta. Resolusi untuk perdamaian telah banyak ditempuh, seminar tentang lingkungan sudah banyak menyita waktu juga biaya. Pun peperangan masih mengotori bumi dan langit, juga kerusakan lingkungan masih banyak menjadi favorit di kalangan masyarakat kita.

Dinamika memang terjadi. Tetapi akankah kita mengisi dinamika itu dengan kerusakan?, kerusakan akibat gempuran roket-roket pesawat perang, kerusakan akibat penangkapan ikan dan organisme yang tidak ramah lingkungan, kerusakan akibat penebangan kayu di hutan, kerusakan akibat moral pejabat yang korup, kerusakan moral akibat penyalahgunaan teknologi dan masih berlanjut oleh deret kerusakan lainnya.

Mari kita bangun dari lamunan dan mimpi tidur yang panjang. Jangan pernah mau terantuk pada batu yang sama, mari mengawali tahun ini dengan banyak berderma untuk perdamaian dan bumi yang tersenyum.

Untuk Bumi Ku yang tersenyum,


Akbar Marzuki Tahya, S.Pi.

Alam mulai enggan bersahabat dengan kita??


Aku duduk di teras rumah sore itu, titik-titik air jatuh melewati atap seng yang bergelombang. Panas terik matahari siang tadi rupanya menginginkan gerimis. Suhu dinginpun terasa menghapus bumi seketika. Aku menatap hamparan empang yang ada di depan rumah, rumah kayu panggung yang sederhana dan berjasa sebagai tempat peristirahatan para peneliti maupun pekerja empang yang lelah seusai bergelut dengan tanah, air dan ikannya. Tanah pematang yang seolah-olah angkuh menahan air yang ada di dalam empang memberikan harapan besar untuk kehidupan ikan. Air yang begitu tenang seolah-olah bersahabat, namun menyimpan misteri yang begitu besar bagi kami peneliti. Kembali aku menolehkan haluan wajahku sedikit ke kanan, tepatnya pada petakan empang yang lain. Di sana terlihat instalasi bambu yang berwarna kuning akibat terpaan matahari dan termakan waktu, cukup sederhana. Beberapa keranjang kotak pemeliharaan kepiting yang setengah terendam ke dalam air. Airnya pun terlihat tenang dan sama dengan empang depan rumah.

Seketika lamunan Ku buyar, “oh…Akbar bagaimana kepitingmu moltingmikah?, Dg. Somma menyapa dan membuktikan hadirnya. “ seperti biasa Dg. Somma, tenapi nallomo. Adaji mati.” Aku menjawab dengan sedikit berbahasa Makassar dialek Maros. Dg. Somma membersihkan kakinya dengan air kemudian melangkah naik melewati anak tangga kayu. Aku tersenyum kepadanya sebagai bentuk keramahan Ku dan membiarkannya berlalu ke dalam rumah. Terdengar suara lantai papan yang direbahi oleh tubuh Dg. Somma, ternyata Ia mencoba melepas lelah.

Di sore itu, Aku mulai bertanya pada alam ini. Pikiran Ku seakan Ku kerahkan untuk menjawab segudang gundah padanya. Mengapa ala mini seakan sulit diprediksi?, Apakah manusia telah salah dalam kecanggihan teknologi?. Hamparan air yang diam ternyata menyimpan sakit bagi kepiting yang akan diteliti, Air di tempat yang lain menjadi berita yang menyedihkan bagi manusia. Tsunami dan banjir pun dating mendera, angin puting beliung meluluhlantakkan bangunan. Dan baru saja terdengar di kampus merah (baca; unhas) mengenai global warming dan global warning menjadi isu terhangat di kalangan mahasiswa atau akademisi, pun masyarakat dunia.

Kita seakan berjalan mencari perdamaian dengan alam, namun alam kini mencari jalan lain untuk ia tempuh. Apakah kita yang salah jalan atau masih masih adakah di antara kita yang berjalan di stapak berbeda dan beranggapan salah mengenai ecofriendly?. Ini menjadi bahan muhasabah bagi umat manusia.

Aku bangkit dari duduk dan lamunan sore Ku, berjalan ke dalam rumah. Ku dapati Dg. Somma masih tertidur. Ku nyalakan lampu minyak tanah untuk menerangi petang. Ternyata alam begitu tenang, matahari yang mulai pergi masih menampakkan ke elokannya diiringi oleh nyanyian jangkrik dan kerabatnya. Suara adzan maghrib pun berkumandang memecah keheningan petang ini.



Mari kita berdamai dengan alam ini.


Alam menunggu bakti Ku


Akbar Marzuki Tahya, S.Pi.