Kamis, 20 Mei 2010

kepiting lunak, mengapa tidak?

oleh; Akbar Marzuki Tahya.


















Di mulai dari inovasi teknologi kepiting cangkang lunak ramah lingkungan, Prof. Yushinta Fujaya terus mengkaji pemanfaatan ekstrak herbal untuk induksi pemoltingan (pelunakan cangkang). Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS ini, mencoba memperlakukan kepiting sesuai dengan kelayakan hidupnya dengan menerobos teknologi pelunakan yang ada selama ini. Teknologi induksi kepiting lunak yang dikenal selama ini adalah induksi dengan cara mutilasi, teknologi ini sangat memiriskan hati dengan adanya pemaksaan kepiting untuk melakukan regenerasi yang berakibat pada stres fisiologis sehingga mengalami pergantian kulit. Teknologi ini dikenal sangat kejam, karena memperlakukan kepiting tanpa kaki untuk tetap hidup demi keuntungan manusia. Bayangkan saja ketika kepiting mutilasi yang terkurung harus makan ataupun bergerak demi mempertahankan hidup, keadaan ini sangat menyiksa namun memberi keuntungan lebih bagi manusia.


Tapi apalah daya, kepiting hanya organisme krustase yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam krangkeng yang terbatas. Dia tidak bisa memprotes atau mendemonstarsikan ketidaksenangannya, hanya bisa pasrah dan memilih mati ketika tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang diperparah oleh perih luka bekas mutilasi.
Wanita tangguh yang memfokuskan diri untuk memperhatikan kepiting ini, mencoba menerjang keangkuhan manusia dengan memikirkan solusi sehingga manusia untung, kepiting pun hidup dengan layak dalam media budidaya meskipun akhirnya menjadi santapan mewah di meja restoran. Dalam beberapa kesempatan penelitian, beliau mencoba mempelajari fisiologi krustase dan akhirnya menemukan ekstrak herbal yang dapat menginduksi kepiting melakukan pergantian kulit. Ekstrak yang akhirnya diberi nama vitomolt diujikan dalam beberapa perlakuan dan dilakukan pengulangan beberapa kali bersama tim peneliti yang berasal dari Unhas. Walhasil kepiting pun mengalami pergantian kulit yang sempurna dengan bobot meningkat hingga 30%, yang sangat jauh berbeda dengan kepiting mutilasi. Keuntungan lainnya adalah tingkat kelulusan hidup yang sangat tinggi, yakni mencapai 85% selama pemeliharaan 1 siklus (sekitar 40an hari), dan nilai penting keramahan lingkungan karena menggunakan bahan herbal.
Yang paling menarik adalah, kegigihan seorang wanita yang tidak terkalahkan oleh pria. Konon katanya kesepuluh jari tangannya telah mendapat hadiah cubitan dari kerabat krustase ini, namun Beliau tak kunjung kapok. Perihal ini pula yang menginspirasi mahasiswa untuk tetap gigih dalam menghadapi cobaan hidup. Prinsip yang ingin ditorehkan kedalam lubuk idealis mahasiswa adalah memberi yang terbaik saat ini untuk dipetik dihari esok, tanpa harus menyesali cita-cita dahulu.
















Kegigihannya tersebut telah berhasil menjadi teladan bagi beberapa anak bimbingannya. Buah karya dari kegigihan salah satunya adalah dikenalnya Crabs Research Station sebagai pusat penelitian kepiting dan kerabatnya yang berlokasi di Bawanamarana Kabupaten Maros. Instalasi kepiting lunak yang terdapat di stasiun ini menjadi laboratorium lapangan untuk berbagai pengujian inovatif dalam rangka pengembangan teknologi dan cita-cita untuk membangun Research based Industry (industri berbasis riset) yang dikelola sendiri oleh mahasiswa sebagai miniatur industri, berguna bagi masyarakat, pengusaha dan pendidikan.