Jumat, 15 Agustus 2008

kepiting & yushinta dalam smartorial




Inilah pesan berharga dari Universitas Hasanuddin Makassar yang Indonesia butuh mendengarnya. Semula hanya tentang seorang dosen, Dr Ir Yushinta Fujaya Msi, namanya, yang meneliti kepiting. Menyangkut hewan ini, telah jamak dikenal, bahwa teknologi untuk melunakkan cangkangnya, adalah dengan cara mutilasi: yakni memreteli kaki-kakinya. Sungguh, cara ini setara dengan penggemukan ayam pedaging dengan cara memotongi kakinya. Ayam-ayam itu dibiarkan makan sepanjang waktu, tetapi tidak diperkenankan bergerak. Biarlah ia menggembung sambil teraniaya demi keuntungan pemiliknya. Cara ini juga serupa dengan sapi-sapi yang hendak disembelih, dengan lebih dulu menggelonggong air hingga kembung perutnya. Itulah asal mula Indonesia harus mengenal sapi gelonggongan, dengan daging yang tak pernah bisa digoreng, karena air yang melimpah di dalamnya.


Kekejaman bangsa ini kepada hewan-hewan, memang harus diakhiri. Hewan yang kita konsumsi sambil dizalimi begini, pasti cuma akan mendatangkan kemudharatan bagi tubuh. Ia akan menimbulkan karma bagi tubuh dan jiwa. Dan kekejaman kepada hewan-hewan itulah juga yang akhirnya tercermin pada kekejaman kita kepada alam, manusia dan negara. Kekejaman kepada negara itu, malah sudah kita rasakan bersama akibatnya. Inilah negara pemilik kesuburan tetapi gagal mendatangkan kemakmuran.


Yushinta adalah dosen peneliti, bahwa untuk melunakkan cangkang kepiting, cukup hanya dengan menyuntikkan ekstrak bayam ke tubuh mereka. Kaki hewan-hewan ini tak peru lagi dipreteli lagi. Yushinta tidak cuma tergerak menyayangi kepiting dan menjaga martabatnya, tetapi juga membayangkan visi perdagangan jangka panjang, dengan dunia sebagai pasarnya. Bahwa terhadap hewan sekalipun, pasar dunia itu menjunjung adab yang tinggi kepada hewan. Sebelum disembelih, sapi-sapi di Jerman perlu dibius dan dininabobokkan dengan ketentraman. Sebagai ganjarannya, manusia mereka beri daging yang bagus mutunya, yang dihasilkan tidak dengan langkah aniaya. Ini jelas bukan sapi yang selama sehari-semalam diikat dalam bak-bak truk terbuka, tanpa bisa duduk untuk sejenak beristirahat, sambil menempuh perjalanan panjang. Hewan-hewan itu kita anggap diam, pasti karena mereka cuma tak sanggup berbicara. Hewan teraniaya itulah yang kita makan, dan pasti akan menjadi persoalan bagi tubuh.


Kini, Yushinta sedang mengajukan temuannya itu untuk secepatnya dikabulkan sebagai temuan anak bangsa yang diliundungi hukum berupa Hak atas kekayaan Intelektual. Negara harus secepatnya memproses permohonan ini untuk melindungi kecerdasan bangsa sendiri. Percuma saja memiliki rakyat cerdas, jika negara terlambat merawatnya. Rakyat yang sehat, harus disambut dengan mata rantai berbangsa yang juga sehat. Jika tidak, banyak pertumbuhan yang akan berujung mati!


3 komentar:

akbar marzuki tahya mengatakan...

memang harus ada yang memperhatikan kehidupan organisme ini, jangan sampai kita nanti hanya berdongeng kepada anak cucu kita bahwa dahulu kala pernah hidup hewan crustase ini. salut untuk bundaku dan tim.

akbar marzuki tahya mengatakan...

hidup ini cuman sementara sobat, jadi keep our heritages for our childreen.

akbar marzuki tahya mengatakan...

jangan pernah untuk memaksakan kehendak untuk kepentingan pribadi kita. boleh memanfaatkan tapi ikuti etika dan kenyamanan organisme itu dong