Sabtu, 03 Januari 2009

Alam mulai enggan bersahabat dengan kita??


Aku duduk di teras rumah sore itu, titik-titik air jatuh melewati atap seng yang bergelombang. Panas terik matahari siang tadi rupanya menginginkan gerimis. Suhu dinginpun terasa menghapus bumi seketika. Aku menatap hamparan empang yang ada di depan rumah, rumah kayu panggung yang sederhana dan berjasa sebagai tempat peristirahatan para peneliti maupun pekerja empang yang lelah seusai bergelut dengan tanah, air dan ikannya. Tanah pematang yang seolah-olah angkuh menahan air yang ada di dalam empang memberikan harapan besar untuk kehidupan ikan. Air yang begitu tenang seolah-olah bersahabat, namun menyimpan misteri yang begitu besar bagi kami peneliti. Kembali aku menolehkan haluan wajahku sedikit ke kanan, tepatnya pada petakan empang yang lain. Di sana terlihat instalasi bambu yang berwarna kuning akibat terpaan matahari dan termakan waktu, cukup sederhana. Beberapa keranjang kotak pemeliharaan kepiting yang setengah terendam ke dalam air. Airnya pun terlihat tenang dan sama dengan empang depan rumah.

Seketika lamunan Ku buyar, “oh…Akbar bagaimana kepitingmu moltingmikah?, Dg. Somma menyapa dan membuktikan hadirnya. “ seperti biasa Dg. Somma, tenapi nallomo. Adaji mati.” Aku menjawab dengan sedikit berbahasa Makassar dialek Maros. Dg. Somma membersihkan kakinya dengan air kemudian melangkah naik melewati anak tangga kayu. Aku tersenyum kepadanya sebagai bentuk keramahan Ku dan membiarkannya berlalu ke dalam rumah. Terdengar suara lantai papan yang direbahi oleh tubuh Dg. Somma, ternyata Ia mencoba melepas lelah.

Di sore itu, Aku mulai bertanya pada alam ini. Pikiran Ku seakan Ku kerahkan untuk menjawab segudang gundah padanya. Mengapa ala mini seakan sulit diprediksi?, Apakah manusia telah salah dalam kecanggihan teknologi?. Hamparan air yang diam ternyata menyimpan sakit bagi kepiting yang akan diteliti, Air di tempat yang lain menjadi berita yang menyedihkan bagi manusia. Tsunami dan banjir pun dating mendera, angin puting beliung meluluhlantakkan bangunan. Dan baru saja terdengar di kampus merah (baca; unhas) mengenai global warming dan global warning menjadi isu terhangat di kalangan mahasiswa atau akademisi, pun masyarakat dunia.

Kita seakan berjalan mencari perdamaian dengan alam, namun alam kini mencari jalan lain untuk ia tempuh. Apakah kita yang salah jalan atau masih masih adakah di antara kita yang berjalan di stapak berbeda dan beranggapan salah mengenai ecofriendly?. Ini menjadi bahan muhasabah bagi umat manusia.

Aku bangkit dari duduk dan lamunan sore Ku, berjalan ke dalam rumah. Ku dapati Dg. Somma masih tertidur. Ku nyalakan lampu minyak tanah untuk menerangi petang. Ternyata alam begitu tenang, matahari yang mulai pergi masih menampakkan ke elokannya diiringi oleh nyanyian jangkrik dan kerabatnya. Suara adzan maghrib pun berkumandang memecah keheningan petang ini.



Mari kita berdamai dengan alam ini.


Alam menunggu bakti Ku


Akbar Marzuki Tahya, S.Pi.

Tidak ada komentar: